Review bab 11 kepailitan


2.1 Dasar Hukum dan Definisi Hukum Kepailitan
2.1.1 Definisi Hukum Kepailitan
Dalam peraturan kepailitan yang lama, yaitu Fv S. 1905 No. 217 jo. 1906 No. 348 yang dimaksud dengan pailit adalah, setiap berutang atau (Debitor) yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas laporan sendiri maupun atas permohonan seseorang atau lebih berpiutang (Kreditor) dengan putusan hakim dinyatakan dalam keadaan pailit. Lain halnya dengan ketentuan UU No. 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan, yang menyebutkan: Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas permohanannya sendiri, maupun atas permintaan seseorang atau lebih kreditornya.
Menurut Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran utang, yang dimaksud dengan kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undan gini.
Dilihat dari berbagai arti kata atau pengertian kepailitan tersebut di atas maka esensi kepailitan secara singkat dapat dikatakan sebagai sita umum atas harta kekayaan debitor baik yang pada waktu pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung untuk kepentingan semua kreditor yang pada waktu debitor dinyatakan pailit, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib. Akan tetapi dikecualikan dari kepailitan adalah :
1. Semua hasil pendapatan debitor pailit selama kepailitan tersebut dari pekerjaan sendiri, gaji suatu jabatan / jasa, upah pension utang tunggu / uang tunjangan, sekedar atau sejauh hal itu diterapkan oleh hakim.
2. Uang yang diberikan kepada debitor pailit untuk memenuhi kewajiban pemberian nafkahnya menurut peraturan perundang-undangan (Pasal 213, 225, 321 KUH Perdata).
3. Sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim pengawasan dari pendapatan hak nikmat hasil seperti dimaksud dalam (Pasal 311 KUH Perdata).
4. Tunjangan dari pendapat ananak-anaknya yang diterima oleh debitor pailit berdasarkan Pasal 318 KUH Perdata.
Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan maka yang dapat menjadi pemohon dalam suatu perkara kepailitan adalah salah satu dari pihak berikut ini :
1. Pihak debitor itu sendiri.
2. Salah satu atau lebih dari pihak kreditor.
3. Pihak kejaksaan jika menyangkut dengan kepentigan umum.
4. Pihak bank Indonesia jika debitornya adalah suatu bank.
5. Pihak Badan Pengawas Pasar Modal jika debitornya adalah suatu perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring, dan penjaminan, serta lembaga penyimpanan dan penyelesaian.
6. Menteri keuangan jika debitor perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun, atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik.
2.1.2 Dasar Hukum Kepailitan
Dasar hukum bagi suatu kepailitan adalah sebagai berikut :
1. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
2. KUH Perdata, misalnya, Pasal 1134, 1139, 1149, dan lain-lain.
3. KUH Pidana, misalnya, Pasal 396, 397, 398, 399, 400, 520, dan lain-lain.
4. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tenang Perseroan Terbatas.
5. Undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan.
6. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1996 tentang jaminan Fidusia.
7. Perundang-undangan di Bidang pasar Modal, Perbankan, BUMN, dan lain-lain.

2.2 Tujuan dan Azas Hukum Kepailitan
Tujuan dari kepailitan sebagaimana tertuang dalam undang-undang antara lain:
Menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditur yang menagih piutangnya.
Menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan kepentingan debitur atau para kreditur lainnya.
Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditur, atau debitur hanya menguntungkan kreditur tertentu.
Memberikan perlindungan kepada para kreditur konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan.
Memberikan kesempatan kepada debitur dan kreditur untuk berunding membuat kesepakatan restrukturisasi hutang.
Asas-asas kepailitan diatur dalam penjelasan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, yaitu sebagai berikut :
a. Asas keseimbangan;
Undang-undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata  dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik.
b. Asas kelangsungan usaha;
Dalam Undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif dapat dilangsungkan.
c. Asas keadilan;
Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenangwenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitor, dengan tidak memedulikan kreditor lain.
d. Asas integrasi;
Asas integrasi dalam Undang-undang ini mengadung pengertian bahwa system hukum formil dan hokum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari system hokum perdata dan hukum acara perdata nasional.
e. Asas itikad baik
f. Asas nasionalitas

2.3 Proses Kepailitan
Proses kepailitan menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah sebagai berikut:
Permohonan pailit
Syarat (Pasal 2 ayat 1)
Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
Diajukan oleh (Pasal 2 ayat 2, 3, 4, dan 5)
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum.
Dalam hal Debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.
Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.
Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.
Putusan pernyataan pailit
(Pasal 15 ayat 1) Dalam putusan pernyataan pailit, harus diangkat Kurator dan seorang Hakim Pengawas yang ditunjuk dari hakim Pengadilan.
(Pasal 15 ayat 4) Dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari setelah tanggal putusan pernyataan pailit diterima oleh Kurator dan Hakim Pengawas, Kurator mengumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas, mengenai ikhtisar putusan pernyataan pailit yang memuat hal-hal sebagai berikut:
nama, alamat, dan pekerjaan Debitor;
nama Hakim Pengawas;
nama, alamat, dan pekerjaan Kurator;
nama, alamat, dan pekerjaan anggota panitia Kreditor sementara, apabila telah ditunjuk; dan
tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama Kreditor.
Pencabutan putusan pernyataan pailit
(Pasal 18 ayat 1) Dalam hal harta pailit tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan maka Pengadilan atas usul Hakim Pengawas dan setelah mendengar panitia kreditor sementara jika ada, serta setelah memanggil dengan sah atau mendengar Debitor, dapat memutuskan pencabutan putusan pernyataan pailit.
(Pasal 19 ayat 1) Putusan yang memerintahkan pencabutan pernyataan pailit, diumumkan oleh Panitera Pengadilan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian sebagaimana di maksud dalam Pasal 15 ayat (4).
Pengurusan harta pailit
(Pasal 69 ayat 1) Tugas Kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Meliputi:
Pencocokan Utang (Pasal 80 ayat 1)
Pencatatan Harta Pailit (Pasal 100 ayat 1)
Pencocokan Piutang (Pasal 113 s/d Pasal 143)
Pemberesan harta pailit (Pasal 178 s/d Pasal 203)
Mencatat dan mengumpulkan kekayaan dan utang perseroan
Pengumuman dalam surat kabar dan berita negara RI
Pembayaran kepada para kreditur
Pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham
Tindakan lain sehubungan dengan pemberesan kekayaan
Kewajiban terakhir kuraktor
(Pasal 202 ayat 2) Kurator melakukan pengumuman mengenai berakhirnya kepailitan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan surat kabar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4).
(Pasal 202 ayat 3) Kurator wajib memberikan pertanggungjawaban mengenai pengurusan dan pemberesan yang telah dilakukannya kepada Hakim Pengawas paling lama 30 (tiga

PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS
Berikan contoh studi kasus sengketa bisnis!
2.    Apa perbedaan antara sengketa dengan kepailitan?
JAWABAN
1. Jawab: perjanjian antara pelaku usaha di suatu firma dengan sistem pembagian hasil 50.50. ketika suatu kondisi usaha tersebut mendapatkan kendala, sehingga usaha rugi, salah satu pelaku usahanya tidak berkenan menanggung besarnya kerugian sebanyak 50;50, karena merasa pada peride tersebut sumbangan input yang ia berikan lebih dari 50%.
2. Jawab: kepailitan merupakan kondisi dimana suatu perusahaan memiliki sejumlah hutang dalam jumlah besar yang tidak mampu melunasinya, sehingga dilaporkan sebagai perusahaan yang pailit kepada pengadilan. Dengan berbagai prosedur, maka perusahaan dapat dinyatakan pailit jika memenuhi kriteria tettentu. Sedangkan sengketa merupakan permasalahan yang berdasar pada perbedaan persepsi atas suatu kepemilikan dan objek masalah.










DAFTAR PUSTAKA

Fuady, Munir. 2010. Hukum Pailit Dalam Praktik dan Teori. Citra Adtya Bakti : Bandung.
Sinaga, Syamsudin M. 2012. Hukum Kepailitan di Indonesia. Tatanusa : Jakarta.
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Komentar

Postingan Populer